DEAR ME

 #journalingChallenge

Kamis, 8 Mei 2025, 19.23 WIB.

 

Hello semuanya, berjumpa lagi,,,,, bagaimana hari nya ? apakah ada kabar baik untuk hari ini ?. Kabarku hari ini tidak lebih baik dari hari kemarin, bahkan hari kemarin lebih baik daripada hari ini, sebegitu hancurnya hatiku di hari ini, namun apa daya, it’s just bad days, not bad live, maybe today is not my times, not yet.

Sebenarnya aku ingin melanjutkan topik challange aku yang ke 28 of 30, dengan tema yaitu menuliskan satu kalimat motivasi untuk diri sendiri, karena topik ini pernah aku tulis juga di tulisan aku yang ke 17 of 30 yang berjudul One Sentence That Motivates My Life, jadi aku memilih untuk menggantinya dengan yang lain, yaitu tentang perasaan ku hari ini dan lebih tepatnya aku ingin menyampaikan permintaan maaf kepada diriku sendiri.

Pengakuan atas Kesalahan pada Diri Sendiri

Sebelum kita melakukan permintaan maaf, terlebih dahulu kita harus menyampaikan kesalahan-kesalahan apa yang sudah kita lakukan. Kali ini aku ingin meminta maaf kepada diriku sendiri, dimana aku selalu menghindari perasaan-perasaan yang aku miliki, aku selalu menyepelekan value diriku sendiri, aku selalu mengabaikan rasa sakit sakit dan kecewa yang diriku sendiri rasakan, dan aku selalu menutup mata untuk kebahagian diriku sendiri, aku tidak memberi ruang kepada mereka untuk mengeluh. 

Aku yang selalu mengatakan “aku bisa sendiri”, “aku gapapa”, “untuk aku aman saja”, “sudah santai saja”, “aku udah biasa kok”. Padahal sebenarnya aku ingin mengatakan “Cukup, cukup”, I’m so fucking tired. Maafkan aku yang selalu membiarkan perut ku kosong, dengan santai mengatakan, belum lapar lagi, lagi diet, lagi gak kenyang bangeet, and bla.. bla..bal… Maafkan juga aku ketika seharusnya diriku diobati, diistirahatkan, dengan santai nya aku mengatakan, “tidur sebentar, nanti hilang sendiri sakit dan capeknya”, “Alaaah lemah,, baru segini..”, dan kata cemooh lainnya kepada diri sendiri. 

Aku menyadari bahwa selama ini aku sering kali menjadi sumber tekanan bagi diriku sendiri. Aku menetapkan standar yang begitu tinggi dan menolak memberi ruang untuk kegagalan. Aku menolak kata tidak bisa, melainkan selalu mengatakan aku bisa !, dan aku mampu !. Setiap kesalahan kecil langsung aku anggap sebagai kegagalan besar, dan aku menghukum diriku dengan pikiran negatif yang terus-menerus menghantui. Aku menyesal karena aku tidak memberi diriku kesempatan untuk bernapas, belajar, dan tumbuh dengan wajar. Seharusnya aku bisa lebih lembut, lebih sabar, dan lebih pengertian terhadap proses yang aku jalani.

Aku juga menyadari bahwa aku terlalu sering menyembunyikan rasa sakit, berpura-pura kuat di depan orang lain, bahkan di depan cermin. Aku menekan perasaan sendiri demi terlihat baik-baik saja, padahal jauh di dalam hati, aku sedang berjuang keras. Maaf untuk setiap kali aku menolak mendengar tangisan batin sendiri hanya karena takut terlihat lemah dan tak berdaya.

Aku menyadari, jika aku terlalu memaksa untuk menggenggam semuanya dengan tanganku yang kecil ini sendirian. Aku menyadari betapa jahatnya aku kepada diriku sendiri. Aku yakin, diantara kita berdua, kita sama-sama saling menyadari jika kita tidak ada tali untuk bergantung, dan tidak ada ruang untuk bercerita dan tidak ada waktu untuk bermanja, yang ada perjuangan antara diri kita satu sama lain. Aku tahu ini terdengar egois dan jahat, namun bersabarlah sedikit lagi, suatu hari nanti kita akan sampai dimana itu adalah hari kita.

Aku paham bahwa menerima kelemahan bukan tanda kekalahan, melainkan bentuk keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Namun untuk saat ini aku belum mampu untuk menunjukkan sisi lemah ku itu, disaat semua orang bersandar di pundakku.

Penyesalan atas Mengabaikan Kebutuhan Diri

Aku menyadari betapa jahatnya aku pada diriku sendiri, dan Aku menyesal karena selama ini terlalu sering mengabaikan kebutuhan diriku sendiri, baik secara fisik, emosional, maupun mental. Aku terbiasa menomorduakan apa yang benar-benar aku rasakan demi memenuhi harapan orang lain. Aku memaksakan diri untuk terus produktif walau tubuhku sudah kelelahan, terus tersenyum walau hatiku sedang patah, dan terus berjalan meskipun langkahku sudah goyah. Aku jarang bertanya pada diriku sendiri: “Apa kabar?” atau “Apa yang sebenarnya aku butuhkan saat ini?” Bahkan ketika aku merasa hampa, aku menolaknya dengan kesibukan yang semu, seolah-olah perasaan itu akan hilang jika diabaikan. Aku lupa bahwa aku juga manusia—yang perlu waktu untuk istirahat, ruang untuk merasa, dan hak untuk mencintai diri sendiri. Penyesalan ini hadir bukan karena aku membenci masa lalu, tetapi karena aku sadar, aku telah membiarkan diriku terlalu lama hidup dalam bayang-bayang ekspektasi orang lain, tanpa benar-benar memeluk diriku sendiri. Kini aku tahu, mengabaikan kebutuhan diri bukanlah bentuk kekuatan, melainkan luka yang perlahan menciptakan jarak antara aku dan diriku sendiri. Luka yang aku sendiri tidak tahu obatnya apa dan lukanya dimana, karena sudah terlalu lama mengabaikan diri sendiri, sehingga tidak tahu bagian mana dari diriku yang sakit dan bagian mana yang harus aku obati. 

Pengakuan Bahwa Aku Manusia Biasa

Aku menyadari dan menerima bahwa aku hanyalah manusia biasa. Selama ini aku hidup dalam tekanan untuk selalu kuat, selalu benar, dan selalu terlihat mampu. Aku menuntut diriku untuk sempurna, seolah-olah kesalahan adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi. Tapi kenyataannya, aku tidak selalu bisa tersenyum ketika sedih, tidak selalu bisa tegar ketika dihantam badai, dan tidak selalu tahu harus bagaimana saat merasa bingung. Aku juga bisa salah, bisa gagal, bisa merasa takut, dan itu semua wajar. Aku bukan robot yang bisa terus bekerja tanpa lelah, atau tokoh cerita yang hidupnya selalu berjalan mulus. Aku adalah manusia dengan hati yang rapuh, dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh, dan dengan perjuangan yang kadang tak terlihat oleh siapa pun. Aku meminta maaf pada diriku karena terlalu lama menyangkal kelemahan ini, padahal justru di sanalah letak keindahan menjadi manusia. Kini aku belajar bahwa boleh menangis, boleh merasa lemah, dan boleh berhenti sejenak. Kemanusiaanku bukan sesuatu yang harus disembunyikan—ia adalah bagian penting dari diriku yang patut aku peluk dengan penuh kasih. 

Meski jalan ke depan mungkin tidak selalu mudah, aku selalu menumbuhkan harapan di dalam diri—harapan bahwa aku bisa menjalani hidup dengan cara yang lebih damai dan jujur terhadap siapa diriku sebenarnya. Aku tahu bahwa proses mencintai dan menerima diri sendiri bukanlah sesuatu yang instan. Akan ada hari-hari di mana aku kembali merasa gagal, hari-hari ketika rasa ragu muncul, dan hari-hari ketika luka lama kembali terbuka. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku ingin masa depan di mana aku tidak lagi menjadi musuh bagi diriku sendiri, melainkan menjadi tempat pulang yang aman. Aku ingin bangun setiap pagi dengan hati yang lebih ringan, bukan karena semua masalah hilang, tapi karena aku belajar menghadapi hidup dengan penuh welas asih terhadap diri sendiri. Aku ingin menjalani hari-hari dengan lebih sadar, lebih tenang, dan lebih penuh makna—menikmati momen kecil, menghargai pertumbuhan, dan bersyukur atas keberanian yang terus aku bangun dari dalam. Di masa depan, aku ingin menjadi versi terbaik dari diriku, bukan yang sempurna, tapi yang utuh—karena ia terbentuk dari keberanian untuk mengakui luka, memaafkan kegagalan, dan mencintai diri sendiri tanpa syarat. 

Aku berhutang ribuan maaf pada diriku sendiri, maaf terlalu memaksakan apapun. Aku memandang ke depan dengan harapan yang perlahan tumbuh dari dalam hatiku. Harapan bahwa aku bisa menciptakan hidup yang lebih damai, lebih jujur, dan lebih selaras dengan siapa diriku sebenarnya. Aku ingin menjadikan masa depan bukan sebagai tempat pelarian dari masa lalu, tetapi sebagai ruang untuk menciptakan versi diri ku yang lebih utuh—bukan sempurna, tapi lebih mengenal dan menerima dirinya sendiri. Aku tahu bahwa tidak semua hari akan mudah. Akan ada rintangan, kegagalan, bahkan mungkin luka baru. Tapi kali ini aku ingin menghadapinya dengan ketenangan, bukan penolakan; dengan kasih, bukan kemarahan. Aku ingin tumbuh menjadi seseorang yang mampu memeluk dirinya sendiri di tengah kekacauan, yang mampu melihat nilai dalam langkah-langkah kecil, dan yang mampu memilih untuk tetap bertahan dengan penuh cinta. Harapanku sederhana: agar suatu hari aku bisa melihat diriku di cermin, tersenyum, dan berkata, “Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Aku bangga padamu.”

Dear Me

Maaf,

untuk hari-hari yang kuabaikan tangismu,

saat kau lelah, tapi kupaksa tetap tegar,

saat hatimu retak, tapi kupaksa tersenyum,

seolah luka bisa hilang hanya karena aku menolaknya.


Maaf,

karena aku lebih sering mendengar suara dunia,

daripada mendengarkan bisikan kecilmu yang meminta dipeluk.

Kupikir mencintai orang lain akan menyembuhkan kita,

tapi ternyata, aku lupa mencintaimu terlebih dahulu.


Maaf,

untuk setiap kata kasar yang kulontarkan dalam batin,

untuk setiap cermin yang kutatap dengan kecewa,

dan untuk semua harapan yang pernah kutanam,

lalu kutinggalkan begitu saja saat badai datang.


Kini aku tahu,

kau tak butuh kesempurnaan.

Kau hanya ingin dimengerti.

Disentuh dengan kelembutan,

ditenangkan dengan pengertian.


Mulai hari ini,

aku akan belajar menjadi rumahmu—

yang tidak menghakimi saat kau jatuh,

yang sabar saat kau lambat,

dan yang setia,

saat dunia tidak.


Dear me,

maaf karena aku terlambat menyadari,

bahwa kau, adalah satu-satunya

yang selalu ada sejak awal,

dan akan tinggal sampai akhir.



Day 28 #30DayWritingChallenge

Ya Allah, tolong sembuhkan bagian diriku yang tidak bisa aku diskusikan dengan siapapun..


Posting Komentar

0 Komentar